Love Vegetarian

Thursday, July 31, 2008







Apa Hubungan Pola Makan Daging dengan Pemanasan Global





Apa Hubungan Pola Makan Daging dengan Pemanasan Global


by: Chindy Tan








 

 

 

 

 



Dalam
laporan PBB (FAO)
yang berjudul Livestock's
Long Shadow: Enviromental Issues and
Options
(Dirilis bulan November 2006), PBB
mencatat bahwa industri peternakan
menghasilkan
emisi gas rumah kaca


yang paling tinggi (
18%),
jumlah ini melebihi gabungan


dari
seluruh transportasi di seluruh dunia (
13%).
PBB juga menambahkan bahwa emisi yang dihitung hanya berdasarkan
emisi CO2 saja, padahal industri peternakan juga merupakan salah satu sumber
utama pencemaran tanah dan air bersih.

Peternakan
melepaskan

9 % karbondioksida
dan


37 % gas metana (23
kali lebih berbahaya dari CO2).
Selain itu,
kotoran ternak menyumbang

65 % nitrooksida (296

kali lebih berbahaya dari CO2),
serta

64
% amonia
penyebab hujan asam



>>>







www.pemanasanglobal.net



Alarm
tanda bahaya dampak pemanasan global berbunyi semakin nyaring. Pola
pencairan es di Kutub merupakan salah satu indikatornya. Perubahan demi
perubahan melaju dalam hitungan bulan. Tanggal 18 Maret 2008, Jay Zwally,
ahli iklim NASA, memprediksi es di Arktika hampir semua akan mencair pada
akhir musim panas 2012. Hanya dalam waktu dua bulan prediksi itu bergeser.
Tanggal 1 Mei 2008 lalu, prediksi terbaru dilansir NASA: mencairnya semua
es di Arktika bisa terjadi di akhir tahun 2008 ini. Sederet tanda-tanda
bahaya yang telah terjadi sebelumnya adalah volume es di Arktika pada
musim panas 2007 hanya tinggal setengah dari empat tahun sebelumnya. Es di
Greenland yang telah mencair mencapai 19 juta ton. Fenomena terbaru
lainnya, pada tanggal 8 Maret 2008 beting es Wilkins di Antartika yang
berusia 1500 tahun pecah dan runtuh seluas 414 kilometer persegi (hampir
1,5 kali luas kota Surabaya atau sepertiga luas Jakarta).



Efek
domino apa yang membayang bila es di Arktika mencair semua? Mencairnya es
di Arktika tidak akan menaikkan level permukaan air laut, melainkan akan
mempercepat siklus pemanasan global itu sendiri. Bila es di Arktika
mencair semua, 80% sinar matahari yang sebelumnya dipantulkan akan diserap
95% oleh air laut. Konsekuensi lanjut adalah potensi terlepasnya 400
miliar ton gas metana atau 3000 kali dari jumlah
gas metana di
atmosfer. Gas metana dapat terlepas akibat mencairnya bekuan gas metana yang
stabil pada suhu di bawah dua derajat celcius. Seperti diketahui, gas metana
memiliki efek rumah kaca 25 kali lebih besar dari gas CO2. Salah satu
skenario yang mungkin terjadi adalah terulangnya bencana








 

Ada 400
miliar ton gas metana di dasar laut Kutub yang dapat memusnahkan kehidupan
di Bumi  


kepunahan massal
yang pernah terjadi pada 55 juta tahun yang lalu dikenal dengan masa PETM
(Paleocene-Eocene Thermal Maximum). Saat itu, gas metana yang terlepas ke
atmosfer mengakibatkan percepatan pemanasan global hingga mengakibatkan
kepunahan massal. Bukti geologi lain menunjukkan kepunahan massal juga
pernah terjadi 251 juta tahun lalu, pada akhir periode Permian. Akibat
terlepasnya gas metana, lebih dari 94% spesies mengalami kepunahan massal.
Kematian massal
terjadi mendadak karena turunnya level oksigen secara ekstrem.



Membaca fakta-fakta di atas, satu hal yang patut digarisbawahi adalah
tenggat waktu yang semakin sempit. Dr. Rajendra K. Pachauri, Ketua IPCC,
menekankan bahwa dua tahun ke depan merupakan masa tenggat penting untuk
menghambat laju pemanasan global yang bergerak dengan sangat cepat. James
Hansen, ahli iklim NASA, mengatakan bahwa kita telah berada di titik sepuluh
persen di atas batas ambang kemampuan Bumi mencerna CO2. Artinya, kita telah
melampaui titik balik. Pada level saat ini, tindakan yang harus diambil
bukan lagi mengurangi, melainkan menghentikan.



Kita butuh kecepatan dan ketepatan membaca masalah hingga dapat memilih
solusi yang efektif. Solusi yang mampu berpacu dengan waktu untuk
memperlambat laju pemanasan global. Berkaitan dengan ini, dalam konferensi
persnya di Paris, 15 Januari 2008, Pachauri mengimbau masyarakat dunia dalam
tingkat individu untuk: pertama, jangan makan daging. Kedua, kendarai sepeda.
Ketiga, jadilah konsumen yang hemat.



Mengapa
”jangan makan daging” berada pada urutan pertama? Fakta berbicara, seperti
laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia – FAO (2006) dalam Livestock’s Long
Shadow – Environmental Issues and Options, daging merupakan komoditas
penghasil emisi karbon paling intensif (18%), bahkan melebihi kontribusi
emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk,
pesawat, kapal, kereta api, helikopter) di dunia (13%). Peternakan juga
adalah penggerak utama dari penebangan hutan. Diperkirakan 70% persen bekas
hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Setiap
tahunnya, penebangan hutan untuk pembukaan lahan peternakan berkontribusi
emisi 2,4 miliar ton CO2.



Memelihara ternak membutuhkan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan
pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong, mesin
pendingin untuk penyimpanan daging. Mesin pendingin merupakan mata rantai
paling tidak efisien energi listrik. Hitung saja mesin pendingin mulai dari
rumah jagal, distributor, pengecer, rumah makan, pasar hingga sampai pada
konsumen. Mata rantai inefisiensi berikutnya adalah alat transportasi untuk
mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung lain dalam
peternakan intensif seperti obat-obatan, hormon dan vitamin.



Mata rantai lain yang sangat tidak efisien tapi telah berlaku demikian
kronis adalah pemanfaatan hasil pertanian untuk peternakan. Dua pertiga
lahan pertanian di muka Bumi ini digunakan untuk peternakan. Sebagai contoh,
Eropa mengimpor 70% protein (kedelai, jagung dan gandum) dari pertanian
untuk peternakan. Indonesia sendiri pada tahun 2006 mengimpor jagung untuk
pakan ternak 1,77 juta ton. Prediksi produksi pakan ternak naik dari 7,2
juta ton menjadi 7,7 juta ton, kata Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan
Unggas-Paulus Setiabudi (Kompas, 8 November 2007). Sementara itu, menurut
data Indonesian Nutrition Network (INN), setengah dari penduduk Indonesia
mengalami kelaparan tersembunyi (16 Sept 2005), sebagaimana yang dikemukakan
oleh Menteri Kesehatan DR. dr. Fadillah Supari, SPJP(K).



Tanggal 30 April 2008 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak
segenap bangsa ini untuk bersama saling membahu menghadapi krisis pangan
dunia. Akar masalah kelangkaan pangan jika dicermati salah satunya adalah
krisis manajemen lahan itu sendiri. Secara matematis, inefisiensi pemakaian
lahan pertanian untuk pakan ternak tercermin dari perhitungan kalori yang
“terbuang” untuk membesarkan ternak cukup. Pakan yang selama ini diberikan
kepada ternak dapat memenuhi kebutuhan kalori 8,7 miliar orang! Berarti
masih ada kelebihan kalori untuk 2,1 miliar orang. Sebenarnya tidaklah sulit
untuk memahami mendesaknya perubahan pola makan ini, yakni perubahan ke pola
makan yang mata rantainya pendek. Perut manusia bisa langsung mencerna
kedelai, jagung dan gandum tanpa harus melalui perut ternak terlebih dahulu.
Tidakkah beralih ke pola makan bebas daging justru dapat menjadi solusi
ketimpangan akses pangan seluruh dunia?



Pertanian untuk pakan ternak itu sendiri merupakan penyumbang 9% CO2 (karbondioksida),
65% N2O (dinitrooksida) dan 37% CH4 (metana). Perlu diketahui efek rumah
kaca N2O adalah 296 kali CO2, sedangkan CH4 adalah 25 kali CO2. Satu lagi
masalah industri peternakan yang sangat krusial yakni, inefisiensi air.
Sekian triliun galon air diperuntukkan untuk irigasinya saja. Sebagai
gambaran sederhana, untuk mendapatkan satu kilogram daging sapi mulai dari
pemeliharaan, pemberian pakan ternak, hingga penyembelihan seekor sapi
membutuhkan satu juta liter air! Data yang dihimpun Lester R. Brown,
Presiden Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute, memaparkan dalam
bukunya ”Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization” (2008) bahwa karena
untuk memproduksi satu ton biji-bijian membutuhkan seribu ton air, tidak
heran bila 70% persediaan air di dunia digunakan untuk irigasi.



Jejak emisi gas rumah kaca daging terukur jelas. Dr Rajendra memberi
ilustrasi konversi energi untuk memelihara sampai menghasilkan sepotong
daging sapi, domba atau babi sama besar dengan energi yang dibutuhkan untuk
menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang
36,4 kg CO2, tidak heran bila data dari film dokumenter ”Meat The Truth”
menyebutkan emisi CO2 seekor sapi selama setahun sama dengan mengendarai
kendaraan sejauh 70.000 km. Penelitian di Belanda (www.partijvourdedie.en.el)
mengungkapkan, seminggu sekali saja membebaskan piring makan dari daging
masih 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah
tangga dalam setahun.



Penelitian paling gres yang dilakukan Prof. Gidon Eshel dan Pamela A. Martin
(”Diet, Energy and Global Warming”) merunut kontribusi setiap potongan
daging terhadap emisi karbon. Penelitian ini diakui secara ilmiah dan
dipublikasikan dalam jurnal bergengsi para ilmuwan Earth Interaction Vol. 10
(Maret 2006). Jumlah gas rumah kaca yang diemisikan oleh daging merah, ikan,
unggas, susu dan telur jika dibandingkan dengan diet murni nabati/vegan,
ternyata jika satu orang dalam setahun mau mengganti diet hewani mereka ke
diet nabati murni/vegan akan mencegah emisi CO2 sebesar 1,5 ton. Lima puluh
persen lebih efektif daripada upaya mengganti mobil Toyota Camry ke mobil
Toyota Prius hybrid sekalipun yang
ternyata hanya mampu mencegah 1 ton emisi CO2.







Objektivitas akan menuntun kita untuk mengakui pola konsumsi daging sebagai
kontributor terbesar emisi gas rumah kaca. Pilihan kita tidak banyak,
mengingat tenggat waktu yang demikian sempit. Mengutip tulisan Senator
Queensland, Andrew Bartlett, bahwa seluruh dunia tidak mesti menjadi
vegetarian atau vegan untuk menyelamatkan planet kita, tapi kita harus
mengakui fakta-fakta ilmiah ini, bahwa jika kita tidak mengurangi konsumsi
produk hewani, kesempatan kita untuk menghentikan perubahan iklim adalah
nihil. Menurut Bartlett, tidak ada langkah yang lebih murah, lebih mudah dan
lebih cepat untuk dilakukan yang dapat mengurangi kontribusi tiap individu
terhadap emisi gas rumah kaca selain memangkas jumlah konsumsi daging dan
produk susu dan olahannya.



Aksi untuk hemat bahan bakar kita masih banyak bergantung pada fasilitas
umum. Upaya yang paling bisa kita lakukan adalah menggunakan kendaraan umum.
Namun, sudah menjadi rahasia umum, tidak mudah untuk menggunakan kendaraan
umum jika berhadapan dengan kepentingan keamanan, dan untuk ini kita masih
bergantung pada kebijakan pemerintah. Aksi hemat energi dalam konteks yang
paling ideal bergantung pada teknologi. Sumber energi paling ramah
lingkungan yakni tenaga angin, air, dan matahari, masih jauh membutuhkan
teknologi dan biaya yang tidak kecil. Butuh waktu yang panjang dan upaya
ekstra untuk menggerakkan kesadaran massal untuk hemat energi, hemat listrik,
hemat bahan bakar karena harus berhadapan dengan kebiasaan dan perilaku yang
telah mengakar.



Mengubah pola makan juga berhadapan dengan kebiasaan yang telah mengakar.
Namun, memegang sendok dan akhirnya menjatuhkan pilihan apa yang akan
dimasukkan ke mulut kita, sepenuhnya berada di kendali kita. Langsung bisa
dilakukan! Jarak antara piring dan mulut kita mungkin hanya sejarak panjang
sendok, membalikkan isi sendoknya hanya butuh waktu sekedipan mata, tapi
kendalinya ada pada mindset tiap kita. Sejenak, biarkan kepala dingin hadir.
Mari dengan mata jernih melihat realitas, mengakui fakta betapa tekanan pola
konsumsi daging sedemikian hebatnya pada daya dukung Bumi. Sejenak merasakan
beban berat Bumi ini mungkin akan menggeser pilihan kita ke pola konsumsi
tanpa daging, pola yang jauh lebih ramah Bumi.







Selebritis Vegetarian Indonesia



 



 















Download Gratis Buku Pemanasan
Global

         










Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home